Kajian Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTNBH)

PERGURUAN TINGGI NEGERI BERBADAN HUKUM

Oleh: Divisi LITBANG HMJ-IP

  1. Pendahuluan

Pembicaraan mengenai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) menjadi menarik. Hal ini dikarenakan pernyataan Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH, MH. Beliau mengungkapkan bahwa Universitas Andalas (Unand) merupakan salah satu dari tiga Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dipersiapkan oleh Kementerian sebagai PTN-BH di Indonesia. Hal tersebut juga didukung oleh Rektor Universitas Andalas Prof. Dr. Tafdil Husni, SE, MBA yang mengatakan bahwa “Universitas Andalas telah menyandang status Badan Layanan Umum (BLU) sejak tahun 2010, dengan mengamati perkembangan lingkungan dan tantangan pendidikan tinggi maka seyogyanya Universitas Andalas telah mempersiapkan diri untuk menuju PTN-BH.”[1]

Menurut Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nmor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, terdapat tiga pola pengelolaan PTN, yaitu: 1) PTN  dengan pola pengelolaan keuangan negara pada umunya (dikenal dengan PTN Satker), 2) PTN dengan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum (BLU), 3) PTN sebagai Badan Hukum (BH). Penetapan PTN BLU dilakukan dengan penetapan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan atas asal usul Menteri, sedangkan PTN BH dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.[2]

Berikut ini dirangkum mengenai perbedaan PTN Satker, PTN BLU, dan PTN BH :[3]

NO Ranah PTN Satker PTN BH PTN BLU
1 Status Unit Kerja di Bawah Kementerian Badan Hukum Satuan Kerja Kementerian Teknis
2 Visi misi sebagai pendidikan tinggi yang nirlaba Sesuai dengan Visi Misi Kementerian Merupakan bentuk Pertanggungjawaban ke Stakeholder (exp. MWA) Mengacu Visi Misi Kementerian
3 Wewenang pengelolaan Tidak ada otonomi dalam Keuangan Otonomi luas baik akademik dan non akademik Ada otonomi dalam pengelolaan dana yang berasal dari masyarakat
4 Anggaran Disusun berdasarkan renstra dan diusulkan ke kementerian Disusun berdasarkan renstra dan ditetapkan oleh MWA Disusun berdasarkan renstra dan diusulkan ke Kementerian
5 Belanja Setiap belanja harus melalui mekanisme KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) Belanja sesuai dengan RKAT yang disusun Belanja yang berasal dari masyarakat dapat digunakan terlebih dahulu
6 Pendapatan Semua pendapatan yang berasal dari PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) yang harus disetor ke kas negara, tidak boleh dipergunakan terlebih dahulu. Pengelolaan pendapatan diatur oleh PT BHMN Semua pendapatan yang bukan PNBP harus disetor ke Bendahara Penerima Satuan Kerja BLU. Setiap triwulan dilakukan penesahan realisasi pendaatan melalui mekanisme KPPN
7 Tarif Diatur oleh Kementerian Keuangan Tarif dana dari masyarakat diatur oleh Rektor Diusulkan satker dan ditetapkan oleh Kemenkeu
8 Aset (Pencatatan, Pengelolaan, Pengalihan dan Penghapusan) Melalui persetujuan Menkeu Menggunakan prosedur yang ditetapkan oleh PTN BH Melalui persetujuan Menkeu
9 Pemeriksaan dan Pengawasan Pemeriksaan Eksternal oleh BPK , Pemeriksaan internal oleh SPI Pemeriksaan Eksternal oleh BPK Pemeriksaan internal oleh SPI, namun ada lembaga audit di tingkat MWA Pemeriksaan Eksternal oleh BPK Pemeriksaan internal oleh internal BLU.

Sumber: https://mwa-wm.itb.ac.id/transformasi-perguruan-tinggi-menghadapi-era-globalisasi-3/

 

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai PTN BH, kita perlu mengetahui apa itu PTN BH. Istilah PTN BH sendiri ditemui dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Selanjutnya disebut UU PT), yang berbunyi; “Pengelolaan Otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan pendidikan bermutu.” Dari Pasal tersebut dapat kita simpulkan bahwa, ada 2 pola pengelolaan keuangan oleh PTN yaitu Badan Layanan Umum dan Berbadan Hukum sebagaimana yang diterangkan pada tabel diatas.

Pengertian PTN BH secara jelas tertuang dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. Menurut PP ini, Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum adalah Perguruan Tinggi Negeri yang didirikan oleh Pemerintah yang berstatus sebagai subyek hukum yang otonom. Bentuk otonomi yang diberikan oleh UU PT terdapat dalam Pasal 65 ayat (3) yang berbunyi :

(3) PTN Badan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:

  1. Kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;
  2. Tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;
  3. Unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;
  4. Hak mengelola dana secara mandiri, trasnparan, dan akuntabel;
  5. Wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;
  6. Wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi;
  7. Wewenang untuk membuka, menyelenggarakan dan menutup program studi.

 

Indonesia sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO) sejak 1995 dengan disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang ratifikasi perjanjian WTO dan perjanjian-perjanjian multilateral. Dengan berlakunya UU tersebut ketentuan-ketentuan WTO yang mengatur perdagangan barang, jasa dan hak atas kekayaan intelektual yang terkait dengan perdagangan (trade related intellectual property rights) harus dilaksanakan. Yang dikecualikan dari ketentuan tersebut adalah jasa yang diberikan oleh pemerintah yang tidak bersifat komersial atau tidak bersaing dengan penyedia komersial jasa tersebut.

Indonesia telah mengikat diri dan terlibat dalam perundingan tersebut sejak tahun 2000 dalam kerangka Putaran Doha. Pada utaran tersebut telah diputuskan bahwa GATS mencakup 12 bidang jasa yang diperdagangkan, termasuk pendidikan. Selanjutnya pada putaran Hong Kong dibahas langkah-langkah untuk meningkatkan komitmen untuk melaksanakan keputusan Doha dengan meminta kepada masing-masing negara anggota untuk menawarkan atau melakukan ”offering” sektor-sektor yang akan diliberalisasi. Indonesia telah menawarkan 5 sektor jasa, yaitu konstruksi, telekomunikasi, bisnis, angkutan laut, pariwisata dan keuangan. Pada putaran Hong Kong, Indonesia telah memasukkan lagi sektor jasa pendidikan dan menawarkan jasa-jasa pendidikan berikut :[4]

  • Jasa pendidikan menengah teknikal dan vokasional;
  • Jasa pendidikan tinggi teknikal dan vokasional;
  • Jasa pendidikan tinggi;
  • Jasa pelatihan dan kursus bahasa;
  • Jasa pendidikan dan pelatihan sepakbola dan catur.

Berdasarkan GATS, tentu pendidikan berusaha dijadikan sebagai instrumen yang dapat diperdagangkan. Hal ini tentu saja akan menyebabkan pendidikan diliberalisasi, sehingga pendidikan menjadi suatu komoditas yang dilepas saja ke dalam mekanisme pasar tanpa adanya tanggung jawab dari negara.

Dengan ditempatkannya pendidikan sebagai instrumen yang dapat diliberalisasi, secara tidak langsung tatanan global telah menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang komersil. Para fundamentalis pasar selalu berpendapat bahwa liberalisasi akan menguntungkan konsumen, karena bekerja berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran yang melahirkan keseimbangan pasar. Padahal terdapat beberapa kekeliruan paradigmatis dalam pandangan neoliberal terhadap pendidikan yang dapat menyebabkan salah arah pendidikan jika hanya didasarkan pada mekanisme pasar.

Pertama, pendidikan dilihat semata-mata sebagai cara untuk mengembangkan individu agar siap berkompetisi. konsekuensinya, pendidikan akan menjadi pencetak pelaku-pelaku yang saling berkompetisi di pasar kerja. Kedua, pendidikan diposisikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di pasar untuk uang dan status. keahlian atau pengetahuan yang ditawarkan oleh pendidikan sebagai komoditas menjadi cerminan dari pasar itu sendiri. Misalnya, tingginya kebutuhan akan teknologi akan membuat tingginya penawaran akan pendidikan yang berbasis teknologi, sehingga jurusan atau bidang ilmu lain hanya diberi sedikit peluang untuk ditawarkan. Ketiga, pendidikan disediakan secara umum namun didistribusikan dan diakses secara privat. Karena didistribusikan dan diakses secara privat maka yang terjadi adalah persaingan. Baik persaingan antar para pemakai jasa (calon peserta didik) maupun antar penyedia jasa (perguruan tinggi).[5]

 

  1. Pembahasan

            Dalam bahasa Latin kata pendidikan berasal dari dua kata. Pertama, Educere yang berarti ‘melatih’ atau ‘membawa keluar dari’. Kedua, Educare yang berarti ‘melatih’ atau ‘memelihara’. Makna diatas menunjukkan bahwa pendidikan adalah proses mengubah manusia menjadi lebih baik dari sebelumnya. dalam sudut pandang yang lebih emansipatoris, pendidikan tidak semata-mata hanya dilihat sebagai upaya mengubah manusia yang tak berpengetahuan menjadi berpengetahuan. Pendidikan juga dimaknai sebagai upaya membebaskan manusia dari penindasan. Cita dari negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konstitusi juga merupakan visi bagi pencapaian kemerdekaan yang permanen dimana Indonesia yang sebelumnya tertindas menjadi Indonesia yang merdeka secara utuh.

Kesadaran betapa pentingnya pendidikan ini menyadarkan para Founding Parents bahwa negara tidak dapat lepas tangan terhadap persoalan pendidikan. Namun dewasa ini, perubahan pada tatanan global telah membalikkan anggapan pendidikan adalah tanggung jawab negara. Melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pemerintah berusaha untuk mengatur bagaimana terselenggaranya pendidikan sebagaimana kehendak founding parents dan cita bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31 UUD 1945. Namun, karena telah meratifikasi dan menyetujui perjanjian internasional melalui WTO, mau tidak mau untuk mematuhi perjanjian tersebut Indonesia harus memasukkan prinsip-prinsip neoliberalisme dalam membentuk Undang-Undang tentang Pendidikan dan Pendidikan Tinggi.

Dalam upaya untuk menjadikan suatu perguruan tinggi menjadi berstatus Berbadan Hukum. Unand telah berupaya membuat diskusi-diskusi terkait status Unand akan menjadi PTN Berbadan Hukum. Namun kita mahasiswa tentu amat perlu untuk mengkaji dampak dan efek dari akan berubahnya status Unand akan menjadi PTN BH.

Dalam Pasal 65 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, salah satu wewenang yang dimiliki oleh PTN yang berstatus Badan Hukum adalah memiliki otonomi dalam bidang akademik dan non akademik. Kewenangan ini memiliki potensi untuk disalahgunakan dalam hal membuat kebijakan yang menyangkut mahasiswa. Perguruan Tinggi yang merupakan lembaga publik haruslah berpihak dan melayani kepentingan publik agar tercapainya tujuan pendidikan yang adil dan merata. Misalnya dalam menentukan besaran angka pada tiap level UKT. Ketika sumber pendapatan dari badan usaha-badan usaha baik yang didirikan oleh Universitas maupun yang menginvestasikan modalnya di Universitas tidak mencukupi biaya penyelenggaraan pendidikan, maka jalan satu-satunya yang akan ditempuh untuk memenuhi kekurangan biaya operasional pendidikan adalah dengan menaikkan nominal UKT pada level-level tertentu.

Dalam sejarahnya, penolakan terhadap privatisasi pendidikan ini sudah berlangsung. Dimulai dari dibatalkannya UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi. Hinggapengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada bab mengenai otonomi pendidikan. Melalui Putusan MK Nomor 103/PUU-X/2013 dan Putusan MK Nomor 111/PUU-X/2013. Dapat disimpulkan bahwa lahirnya konsepsi PTN BH merupakan bentuk baru BHP yang telah dibatalkan MK pada tahun 2009.

Saat ini Unand menyandang status PTN-BLU saja, problem mahasiswa terhadap UKT masih terus ada. Misalnya dalam hal penempatan level UKT yang tidak tepat sasaran, sehingga menyebabkan banyak mahasiswa baru terutama mahasiswa angkatan tahun 2018 yang meminta penurunan penetapan level UKT. Namun, pihak Unand tidak memiliki kebijakan atau peraturan yang jelas dan pasti tentang penetapan ulang level UKT. Pimpinan Unand dalam hal ini Wakil Rektor II meminta mahasiswa yang ingin penetapan ulang level UKT menghadap WR II satu per satu. Hal ini dikarenakan tidak adanya regulasi jelas dan pasti mengenai mekanisme penetapan ulang level UKT. Untuk membahas kebijakan ini tentu diperlukan data-data pendukung mengenai pemasukan Unand dari UKT, Realisasi UKT dalam konteks dalam hal apa saja UKT digunakan, dan Pemasukan serta Pengeluaran Unand dalam setahun. Namun, dalam hal upaya untuk mendapatkan data-data tersebut mahasiswa seakan dipersulit dan dipermainkan. Sedang dalam status sebagai PTN BLU Unand tidak terbuka terhadap informasi yang seharusnya menjadi hak publik untuk mengaksesnya, apalagi bila menyandang status sebagai PTN BH maka tentu potensi untuk menutup akses publik terhadap informasi tersebut cukup besar.

Dalam status BLU saja mekanisme untuk penurunan UKT sangat sulit. UKT bisa turun hanya dalam beberapa kondisi, seperti kemalangan yang menimpa mahasiswa. Tidak mungkin ketika mahasiswa ingin melakukan banding UKT dengan alasan sebenarnya adalah perekonomian harus menunggu datangnya kemalangan menimpa mereka. Mekanisme banding UKT juga tidak diatur dalam sebuah produk hukum, termasuk dalam Peraturan Rektor Universitas Andalas.

Dalam UU Pendidikan Tinggi terdapat salah satu asas yaitu keterjangkauan, artinya pendidikan tinggi harus dapat diakses oleh setiap warga negara. Misalnya dengan adanya jalur mandiri untuk masuk ke suatu kampus. Dengan dibukanya jalur mandiri telah membatasi hak warga negara untuk mengakses pendidikan tinggi. Karena jalur mandiri memiliki dana pengembangan institusi yang wajib dilunasi disamping UKT yang dibayar juga mahal, sehingga hanya bisa diakses oleh masyarakat ekonomi menengah keatas. Hal ini tentu saha membatasi hak warga negara yang kemampuan ekonominya menengah kebawah. Jika pada Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 tentang BKT dan UKT di Lingkungan Kementerian Kebudayaan, pada pasal 6 menyatakann bahwa kuota untuk jalur non reguler (mandiri) adalah maksimal sebesar 20 persen. Namun dalam Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2016 tentang UKT dan BKT pada pasal 10 ayat (3) menyatakan bahwa kuota untuk jalur mandiri maksimal 30 persen. Kebijakan menaikkan kuota jalur mandiri ini semakin memperjelas bahwa akses warga negara untuk memperoleh pendidikan tinggi dibatasi dan melanggar asas keterjangkauan pada UU Pendidikan Tinggi. Jika dibawakan pada tataran Unand hari ini, masih terdapat beberapa permasalahan dalam hal keterjangkauan terhadap akses pendidikan ke Unand. Misalnya akses mahasiswa baru yang level UKT dirasa tidak mampu terpenuhi, harus menunggu semester 3 untuk melakukan penurunan level UKT. Karena seperti itu kebijakan yang diberlakukan oleh Unand.

Kami tidak ingin Universitas Andalas berubah status menjadi PTN-BH, karena dari beberapa kampus yang telah berubah status menjadi PTN BH, seperti di Universitas Diponegoro (UNDIP) yang telah berstatus PTN BH pada tahun 2017, Sebelum menjadi PTN BH, UKT pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan mengalami kenaikan setelah menjadi PTN BH. Pada Universitas Hasanuddin yang juga baru berubah status menjadi PTN BH pada 2017 mengeluarkan Peraturan Rektor Unhas Nomor 1831/UN4.1./KEP/2018. Peraturan ini mengatur mengenai Organisasi Kemahasiswaan, yang mana dinilai oleh banyak mahasiswa di Unhas mengekang kebebasan mahasiswa dalam menyelenggarakan organisasi. Kedua kejadian pada kedua Universitas yang telah berubah status menjadi PTN BH ini menyiratkan kepada kita bersama bahwa, ketika negara lepas tanggung jawab terhadap pendidikan tinggi dengan status PTN BH, maka kewenangan membuat kebijakan oleh pimpinan dan stakeholder di PTN cenderung merenggut hak mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan secara tidak langsung.

Kemudian, ketika Unand berstatus menjadi PTN BH tentu akan mementingkan dan memfokuskan pada bagaimana cara memperoleh biaya untuk operasional PTN. Ketika pimpinan memfokuskan pada cara bagaimana mendapatkan dana, maka akan banyak perusahaan-perusahaan seperti franchise dan lain sebagainya untuk menanamkan modal pada PTN Berbadan Hukum. Seketika itulah maka kampus yang sejatinya sebagai tempat ditanamkannya roh pendidikan dengan memperhatikan lingkungan sekitar, supaya tidak terjadi kesenjangan dan penindasan berubah menjadi sebuah perusahaan yang memperlihatkan nilai kompetitif tanpa memperhatikan situasi dan kesenjangan yang terjadi disekitarnya. Ketika perusahaan-perusaan seperti franchise makanan masuk ke PTN, maka nasib pedagang-pedagang makanan kecil yang berjualan di sekitaran kampus Unand akan punah seiring dengan tumbuh suburnya perusahaan-perusahaan makanan yang ada di kampus.

III. Penutup

Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Kami menolak Unand menjadi PTN BH dengan alasan:

  1. PTN BH merupakan salah satu bentuk komersialisasi pendidikan
  2. PTN BH mengurangi akses warga negara terhadap pendidikan dengan memprivatisasi pendidikan untuk golongan tertentu.
  3. Unand tidak siap menjadi PTN BH karena masih terdapat permasalahan yang terjadi seperti, pelayanan terhadap akses informasi mengenai keuangan dipersulit, permasalahan pengurangan level UKT

 

 

 

 

Aliansi Mahasiswa Peduli Unand (A.M.P.U)

[1] https://www.unand.ac.id/id/berita-peristiwa/berita/item/2643-irjen-kemenristekdikti-unand.html

[2] PPID ITB “ITB Sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum” hal 3

[3]Ibid. hal 6-7

[4]GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi, Prof. Dr. Sofian Efendi, Makalah pada diskusi “GATS: Neo-Imperialisme modern dalam Pendidikan” 22 September 2005. Yogyakarta.

[5]  Mark Olssen, et al, Education Policy, Globalization, Citizenship, adn Democracy (London: SAGE, 2004), 181 dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi Tahun 2011 halaman 557.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *