“Politik Gagasan dan Populisme dalam Arena Demokrasi untuk Pemilu 2019”

PEKAN POLITIK KE 6 “Politik Gagasan dan Populisme dalam Arena Demokrasi untuk Pemilu 2019”

Tepat beberapa pekan sebelum pesta demokrasi dihelat di Indonesia yaitu pemilu, arena politik semakin hari mendekati pencoblosan memunculkan aura panas, kami himpunan mahasiswa jurusan ilmu politik (HMJ-IP FISIP UNAND) mengadakan acara pekan politik tahunan bertemakan Politik Gagasan dan Populisme dalam Arena Demokrasi untuk Pemilu 2019″. Berbagai Tren politik muncul di tahun politik, Tidak terkecuali dengan adanya politik populisme sebagai kartu untuk bisa mengaet masyarakat umum. Populisme menurut Prof. Vedi Hadist adalah persepsi tentang politik yang membagi masyarakat menjadi antara banyak mayoritas yang dianggap baik dan bermoral, beretika yang menghadapi suatu elite yang sifatnya tidak bermoral, rakus dan mungkin secara kultural asing terhadap mayoritas ini. Dalam hal ini, tentu jelas sekali politik populis ini menekan terhadap kaum minoritas yang sama sekali tidak mempunyai kelebihan akses untuk bisa memonopoli kekuasaan terkait dengan politik.

Sejarah populisme dalam konteks Indonesia ini muncul berdasarkan dua sumber yaitu Nasionalisme dan Populisme Islam. Nasionalisme itu sendiri adalah suatu sikap masyarakat yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dan merasakan adanya kesetiaan terhadap bangsa, atas dasar persepsi inilah yang menjadikan masyarakat untuk selalu mendukungnya, namun munculnya populisme bukan hanya berdasarkan kepada rasa nasionalisme melainkan adanya peran agama yang mengikutinya, terkait agama mayoritas di Indonesia adalah islam, dengan inilah munculnya pendekatan populisme islam yang lebih mengandalkan atau mengutamakan simbol-simbol untuk bisa mencari keadilan itu sebenarnya.

Dalam politik populisme ini, ada berbagai pendekatan yang dilakukan oleh populis untuk bisa mendapatkan kekuasaan. strategi utama yang dilakukan oleh populis dengan pedekatan melalui sarana  menuangkan ide yang ditungkan melalui retorika, efek dari retorika ini seperti magnet yang bisa menyatukan semua elemen untuk bisa digengam dalam satu kepalan tangan. Populisme cenderung mengunakan pendekatan ini, karena merupakan alternatif untuk bisa menarik minat masyarakat melalui visi-misi yang didengungkan dalam kampaye.

Selain itu peran aktor sangat dibutuhkan dalam memainkan retorika. Tanpa adanya aktor, maka segala ide yang telah dibubuhkan akan sia-sia. Sebuah ide harus disampaikan oleh seseorang yang mempunyai daya tarik karismatik dan sudah banyak mempunyai link melalui perantara partai politik. Melalui ide retorika yang dibunyikan oleh suara aktor, maka akan bekerja secara lincah untuk bisa menyatukan masyarakat yang mempunyai heterogenistas melebur menjadi homogenitas untuk menepis segala perbedaan dalam segala aspek. Pendekatan inilah yang secara terus-menerus diilakukan oleh kaum populis untuk bisa mendapatkan perhatian dari masyarakat.

Pada era reformasi sekarang, contoh yang paling sentral terkait dengan populisme yang diciptakan oleh kepala negara yaitu Jokowi. Populisme figur jokowi ini mulai terlihat berawal dari proses pencalonan  sebagai presiden, seperti yang diketahui latar belakang yang berbeda dengan presiden sebelumnya yang lebih berbasis militer, Jokowi itu berasal dari pengusaha, kemudian menjadi wakil rakyat di Solo, dan sebelum menduduki kursi utama kepala negara menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dalam tahap kampaye, pencoblosan hingga pelantikan, populis semakin berkembang dengan persekutuan lintas kelas untuk membawa perubahan dan mengulang kembali masa-masa orde baru yang mempunyai penyakit kronis terkait dengan korupsi.

Alhasil, dari perkembangan populis inilah bisa menghasilkan sari madu berupa racun atau malah medukung kesehatan. Apabila dilihat dari kesehatan, maka populisme ini sangat penting untuk mengingatkan politisi di parlemen agar tidak lupa menyerap sebesar-besarnya aspirasi dari masyarakat untuk bisa mengeluarkan kebijakan agar meminimalisir konflik. Adanya dari efek aspirasi yang diserap inilah yang akan menunjang sistem demokrasi yang berlaku di negara. Namun, apabila menganalisis berkaitan racun atau patologi, populis dijadikan sarana untuk memanfaatkan kepentingan elektoral, propaganda dan kharisma personal  untuk menarik konstituen ketimbang tampil sebagai edukator.

Apabila dikaitkan dengan demokrasi, maka populisme ini hanyalah sebagai tujuan untuk memperoleh legitimasi kekuasaan. Tentu ini akan berujung kepada konflik berkepanjangan, apabila salah satu sudah memenangkan kontestasi dan memperoleh kekuasaan, maka masyarakat akan menduduki tingkatan sebagai kelas dua. Selanjutnya, alienasi politik mejadi benih yang menumbuhkan populisme, adanya perasaan dan pandangan yang mendorong bahwa Pemilu tidak ada gunanya, sistem politik hanyalah milik kaum elite. Penilaian berkaitan dengan demokrasi yang dijadikan sebagai sistem dan kebijakan juga cenderung akan menekan dosis populisme.

Menurut survei global yang dirilis oleh “Voice People 2006”, masyarakat di berbagai negara rata-rata menerima demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang terbaik dengan kalkulasi 79%, namun hanya sepertiga saja yang merasa suaranya di dengarkan dan ditindaklanjuti oleh pemerintah. Inilah yang menjadi PR untuk negara demokrasi untuk lebih mempertimbangkan dan menindaklanjuti efek yang dimunculkan oleh kaum populis. Kaum kelas dua, juga jangan mau saja dijadikan sebagai objek untuk diserangi, namun gunakanlah strategi yang bisa mengimbangkan antara kelas dua dengan kaum populis. Ketika terjadi keseimbangan antara keduanya, maka akan menghasilkan kinerja dalam bentuk kerjasama untuk membangun sistem demokrasi yang lebih baik kedepannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *